Pulau Buru Tanah Air Beta
“Pulau Buru Tanah Air Beta” adalah judul film dokumenter yang disutradarai oleh Rahung Nasution. Film ini bercerita mengenai tahanan politik (tapol) yang diasingkan di Pulau Buru, Maluku. Tokoh utama di film ini adalah Hersri Setiawan, seorang sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang menceritakan kembali kisah perjalanannya selama diasingkan di Pulau Buru sebagai tahanan politik.
Hersri Setiawan memiliki sejumlah karya sastra yang konon katanya tidak diakui oleh pemerintah pada masa itu. Di sepanjang film, kita akan disuguhkan cerita perjalanan para tahanan terutama selama berada di Pulau Buru, dimana kemampuan bertahan hidup mereka sebagai manusia diuji. Walaupun terkesan monoton, namun film ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting mengingat ini adalah pertama kalinya bekas tahanan Pulau Buru diangkat dalam bentuk film untuk menceritakan kembali kisah yang mereka (para tahanan) lalui.
Bagi kita yang tidak banyak mengetahui soal kelamnya sejarah tapol di Pulau Buru, akhirnya bisa membuka mata dan mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi. Namun sayang, di tengah eforia tersebut, pihak kepolisian merasa perlu untuk mencegah dan melarang pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta karena dianggap ada kaitannya dengan PKI.
Ya, mereka yang dijadikan sebagai tahanan politik tersebut merupakan korban politik orde baru yang dianggap terlibat dalam PKI sebagai paham komunis sekaligus paham terlarang di Indonesia. Akan tetapi menurut Ita Nadia, istri salah satu eks tahanan politik bernama Hesri Setyawan, ia meyakini bahwa film karya Rahung Nasution ini justru akan membuka mata masyarakat Indonesia mengenai fakta yang sebenarnya.
Film ini akan menunjukkan berbagai kesalahan dan kekeliruan mengenai sejarah masa lalu yang berkutat pada perjalanan kehidupan politik, berbangsa, dan bernegara para tahanan. Masih menurut Ita Nadia, Pulau Buru adalah monumen sejarah yang tidak akan bisa dilupakan oleh pemerintah dan tidak akan mungkin dilewatkan karena banyak pihak yang menjadi korban kebijakan politik pada masa orde baru. Melalui film ini, Ita berharap generasi muda bisa mengambil pelajaran dan mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya.
Pernyataan Ita Nadia tersebut juga diamini oleh sang suami (Hesri Setyawan), ia mengatakan bahwa film Pulau Buru yang diperankan sendiri olehnya tidak bermaksud untuk menantang aparat maupun pemerintahan khususnya TNI dan Polri, namun tujuan pembuatan film ini adalah untuk memberikan nilai edukasi kepada generasi muda.
Adegan awal film ini menceritakan tentang seorang anak yang bertanya kepada bapaknya (ex tapol di Pulau Buru) mengenai apa saja yang dilakukannya di pulau tersebut selama dibuang oleh pemerintah dan apa saja yang ada di pulau itu? Ditegaskan oleh Hesri Setyawan bahwa film ini tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi terlarang (PKI) sehingga seharusnya tidak perlu ditolak atau dilarang pemutarannya, baik oleh pemerintah maupun ormas dan kelompok tertentu.
Menurut komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, ia mengatakan bahwa pemutaran film ini tidak perlu dilarang. Pelarangan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta yang dilakukan oleh sekelompok orang, organisasi, dan kepolisian adalah pelarangan yang tidak berdasar. Menurutnya, dalam hal ini semua pihak perlu menghormati dan memperhatikan pelaksanaan ketertiban umum yang berkaitan dengan kaidah HAM.
“Wong saat dilakukan (pemutaran film) di Komnas HAM tidak ada apa-apa kok. Alasan itu tidak ada basisnya,” terang Roichatul Aswidah. Kamis (17/3/2016), pada acara peluncuran dan diskusi buku bilangan Thamrin kota Jakarta pusat.
“Ketika pindah dari Goethe ke Latuharhary (Kantor Komnas HAM) tidak ada keonaran publik. Ancaman itu tidak nyata,” Sambungnya.
Tahanan politik Pulau Buru
Selama menjadi tahanan politik Hersri Setiawan dan Tedjabayu Sudjojono serta kawan-kawannya tak pernah berniat untuk kabur. Mereka berharap mati dipenjara atau dibebaskan agar bisa kembali pulang ke kampung halamannya serta menemui keluarganya.
Bagi mantan tahanan politik tersebut, Pulau Buru sendiri adalah sebuah harapan di mana kemampuan bertahan hidup mereka diuji. Di dalam film tersebut diceritakan bagaimana perjuangan yang mereka lakukan untuk mempertahankan umur sepanjang-panjangnya dengan harapan suatu saat mereka bisa kembali pulang ke kampung halaman.
Harapan mereka tidak sia-sia. Tepatnya pada tahun 1977 – 1979 tahanan tahanan politik yang ada di Pulau Buru akhirnya dibebaskan. Di dalam film, kita bisa menyaksikan bagaimana interaksi antara warga asli dan para pendatang serta para tahanan politik.
Salah satu peninggalan bersejarah yang dibangun oleh mantan tahanan politik di Pulau Buru adalah sebuah gedung kesenian yang pada masa sebelumnya dibangun dengan menggunakan bahan-bahan berupa kayu serta papan. Namun sayangnya, pada saat ini telah diubah menjadi bangunan permanen dan hampir tidak menyisakan sedikitpun bentuk-bentuknya yang terdahulu.
Film ini ditutup dengan adegan Hersri Setiawan yang menyambangi makam rekan-rekan seperjuangannya sebagai tahanan politik. Suasana haru pun semakin terasa ketika doa dipanjatkan di antara nisan-nisan tersebut.
Leave a Reply